Pagi ini, dalam perjalanan menuju tempat kerja, seperti biasa saya naik Transjakarta koridor VI. Suasana bus tidak terlalu padat ketika meninggalkan halte Ragunan. Saya sempat memperhatikan sekilas para penumpang. Yah, habis mau lihat ke mana lagi? Di seberang bangku tempat saya duduk ada seorang wanita yang duduk dengan memakai rok yang agak pendek, tapi tidak mini. Mungkin kalau wanita ini sedang berdiri, batas bawah roknya kira-kira 15cm di atas lutut.
Tak pelak, saya jadi teringat akan komentar Gubernur kita mengenai
rok mini dan angkot. Walaupun si Gubernur sudah meminta maaf akan
kesalahtafsiran yang timbul akibat komentarnya, para aktifis perempuan
mengadakan demonstrasi dan menantang bahwa tidak ada hubungan antara rok
mini dengan perkosaan. Sebuah langkah yang kontraproduktif, menurut
saya. Apa yang terjadi selanjutnya (mungkin) sama sekali tidak membuat
para korban menjadi tenang.
Rok Mini Ketemu Otak Mini
Pun demikian dengan perempuan, apakah dengan demo seperti itu, dengan
memakai rok mini, mereka menjadi aman? Saya sempat membaca kutipan “Bukan Otak Kami yang Salah, Tapi Otak Kalian yang Mini“.
Boleh aja pasang slogan seperti itu. Teruskanlah kenakan rok mini, dan
tunggulah sampai ketemu otak mini. Ketika ada pria iseng, katakanlah
pria itu tidak memperkosa, tapi colek paha Anda, apakah dengan berteriak
‘otak ngeres’ atau ‘otak mini’, Anda akan jadi aman? Si pria mungkin
babak belur dihajar massa, digelandang ke polsek, tapi dia sudah
mencicipi paha Anda. Untuk apa menantang keadaan? Bayangkan pula kalau
kejadiannya di tempat sepi, siapa yang membela Anda? Mudah-mudahan Anda
punya ilmu bela diri yang tinggi yang bisa menyambangi kepercayaan diri
Anda dalam mengenakan rok mini di tengah malam buta dengan naik angkutan
umum.
Banyak orang jahat di luar sana, untuk apa mengundang bahaya? Itu
sama saja Anda pakai perhiasan emas di leher, pergelangan tangan dan
pergelangan kaki, berjalan sendirian di malam hari dan berharap semuanya
akan aman-aman saja. Ada orang jahat yang berharap harta saja, ada
orang jahat yang berharap dapat bonus dari berharap harta. Karena
dianggap lemah, wanita lebih sering dijadikan target kejahatan. Jadi,
dengan kecenderungan seperti itu, untuk apa menantang bahaya?
Aktifis Perempuan ke mana Aja Tadinya?
Ketika ramai diberitakan mengenai kasus perkosaan sebulan belakangan
ini, baik yang terjadi pada mahasiswi Binus (belakangan diberitakan
bahwa dia diperkosa sesudah tewas) maupun yang terjadi pada seorang
karyawati yang pulang malam (belakangan diberitakan bahwa dia memang
sudah janjian dengan pelaku), tidak ada (sedikit?) suara dari Komnas
Perempuan ataupun aktifis perempuan lainnya yang masuk sampai ke media.
Tapi, ketika si Gubernur melontarkan bola panas dengan komentar
mengenai rok mini di angkot, ditanggapi dengan serius oleh Komnas
Perempuan dan para aktifis perempuan. Mereka protes karena tidak ada
hubungan antara rok mini dengan perkosaan. Begitu panasnya mereka sampai
perlu demonstrasi di jantung ibukota dengan mengenakan rok mini dan
tanktop.
Pertanyaan saya, ke mana mereka ketika korban perkosaan sedang
divisum di rumah sakit? Sedang memperjuangkan apa mereka ketika korban
perkosaan sedang dimakamkan?
Yang tampak oleh saya Komnas Perempuan dan aktifis perempuan lebih
senang memperjuangkan hak untuk mempertontokan belahan dada, paha dan
bokong. Mereka adalah orang-orang yang juga menentang UU Pornografi.
Intinya, kalau urusan buka-bukaan anggota badan, mereka paling maju!
Tapi, kalau urusan korban perkosaan (catat: mereka semua perempuan)
mereka malah baru bersuara kalau pakaiannya disalahkan. Jadi, yang
penting untuk mereka adalah urusan PAKAIAN.
Bagaimana dengan restorasi trauma korban perkosaan? Adakah mereka
memperjuangkan hukuman yang lebih berat untuk pelaku pemerkosaan? Dengan
mendemo rok mini seperti di Bundaran HI seperti itu apakah akan
meringankan perasaan korban?
Prihatin dengan Perlindungan Perempuan
Tanpa bermaksud klise, saya prihatin dengan lemahnya negara ini
melindungi perempuan. Saya prihatin dengan para korban perkosaan, bahkan
sampai ada yang kehilangan nyawa. Dalam pandangan saya, Komnas
Perempuan dan para aktifis perempuan adalah lembaga yang paling tepat
untuk mencapai misi ini: melindungi perempuan dari kekerasan, bukannya
repot protes ngurusin rok mini sampai demonstrasi bersifat menantang
segala. Tunjukkan usaha yang nyata.
Usahakanlah agar pelaku perkosaan mendapat hukuman yang berat.
Diperlukan langkah-langkah agar peluang seseorang melakukan kekerasan
terhadap perempuan diperkecil. Bahkan, bila memungkinkan, ditiadakan
sama sekali.
Pendidikan moral dan kesusilaan perlu juga ditanamkan sejak dini. Ini
agar supaya generasi-generasi muda tidak mudah kesengsem kalau lihat
cewek dan bikin kepala berdenyut-denyut. Coba lihat tontonan kita
sekarang ini, sudahkah mengusung norma-norma kesusilaan? Singkatnya,
kita tentu tidak ingin mereka (generasi muda) cepet gede; tumbuh sebelum
waktunya. Pergaulan bebas yang sudah jadi praktik keseharian adalah
indikasi bahwa ada sesuatu yang salah. Bahkan, kalau sampai hal itu kita
anggap wajar, ada sesuatu yang salah dan rusah parah.
Saya kuno? Boleh saja sebut saya begitu. Coba bandingkan dengan
keadaan tahun 1990-an. Waktu itu, cara berpakaian cewek-cewek masih
‘normal’. Kalau keluar rumah pake hot pants dipastiin bakalan jadi
obrolan sepanjang masa. Kalau ada acara malam, mana ada tahun segituan
yang pakai gaun dada rendah sampai belahan dada (kalau ada, itu juga)
kelihatan. Tahun segitu pun juga belum ada belahan gaun yang menampakkan
paha, malah sampai tembus ke pinggang. Semua relatif masih tampak
tertutup.
Buat yang tahun segitu masih culun (muda banget), coba liat
video-video musik tahun segituan deh. Cewek paling funky jaman itu pakai
rok panjang, jarang yang ada keliatan dengkulnya. Pada masa itu, tentu
saja tercatat terjadi kekerasan terhadap perempuan. Tapi akses kita
terhadap televisi hanya satu: TVRI Nasional. Tontonannya pun boleh
dibilang membosankan. Tapi, bisa jadi justru itu menjadi faktor yang
menentukan generasi yang masih muda pada jaman itu menjadi generasi yang
sekarang. Saya tidak punya data statistik, tapi saya berani bertaruh
prosentase kejahatan terhadap wanita makin meningkat mendekati masa
kini. Dan saya yakin bahwa cara berpakaian wanita yang dipertontonkan di
media, baik tivi nasional, majalah, dsb yang menjadikan faktor
penentunya.
Jadi, saya cenderung menyalahkan tontonan yang dibombardir kepada
kita. Akses Internet atas konten porno pun sekarang tambah mudah.
Makanya, saya agak aneh dengan orang-orang yang mentertawakan usaha
Menkominfo yang memblokir konten porno dari Internet. Suatu usaha yang
bisa dibilang mustahil, tapi apa langkah-langkah orang-orang itu dalam
melindungi keluarganya dari konten porno?
Untuk itu, saya menghimbau untuk kita semua agar melindungi perempuan
di mana saja mereka berada. Untuk para perempuan, bantu kita melindungi
dengan tidak menantang bahaya. Boleh saja pakai rok mini, saya sendiri
juga enjoy koq, asalkan kakinya bagus, mulus, gak gede dan gak varises
(banyak syaratnya yah; hehehe…), tapi lihat juga situasi di mana kalian
memakainya. Di kantor tentu relatif gak akan ada yang komen, tapi
pulangnya jangan naik angkot kecuali kalian punya ilmu bela diri
setingkat Karen Mok atau Shu Qi. Teruslah berpenampilan menarik dan
wajar, wahai wanita.
SUMBER:
parhttp://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/tanzir/2011/09/21/rok-mini-ketemu-otak-mini-klop-dong/a
0 comments:
Posting Komentar