0

Kewajiban Anggota DPRD Menyerap Aspirasi Masyarakat, bukan Mengadili

Pengembang pernah mengirim surat kepada Ketua Komisi-B DPRD Kota Surabaya dengan surat Nomor: 8/DM//XII/2010, tanggal 6 Desember 2010. Isi surat perihal perlindungan hukum, kepastian hukum atas tidak ditaatinya saran Komisi-B untuk mengadakan masyawarah dengan pengurus RT/RW XII perumahan Dharmahusada Mas.

Pengurus RT/RW XII menolak berdialog dan bermusyawarah dengan pengembang untuk menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai pengelolaan iuran keamanan dan kebersihan kota. Alasan pengurus RT/RW XII, karena dialog tidak dilakukan dengan warga. Sementara pengembang menyatakan bahwa dialog dengan warga dilakukan babak kedua.
Dialog babak pertama dilakukan dengan pengurus RT/RW XII lebih dahulu, karena persoalan inti bukan pengembang dengan warga, tetapi pengembang dengan pengurus RT/RW XII yaitu pengurus RT/RW XII, tidak bersedia menyerahkan iuran keamanan dan kebersihan sampah yang telah dikolek oleh pengurus R/RW XII.

Itu berarti terdapat perbedaan persepsi dan intepretasi mengenai dialog dan musyawarah yang ditawarkan Komisi B DPRD Kota Surabaya. Pengurus RT/RW XII tampaknya menutup mata dengan realita masalah yaitu penggunaan uang yang menjadi hak pengembang. Pengurus RT/RW XII ingin mengalihkan penggunaan uang ke persoalan diluar inti masalah yaitu soal fatsum dan fatsos. Sedangkan pengembang konsisten pada pokok masalah yaitu meminta uang pengelolaan lingkungan sosial yang merupakan hak pengembang selama 2007-2010. ”Uang iuran itu hak pengembang untuk pengelolaan lingkungan sosial. Itu inti masalah!” ingat Bambang Sutjipto, SH, MH, penasihat hukum pengembang Dharmahusada Mas.

Sampai kini, surat dari pengembang tersebut tidak mendapat jawaban atau tangapan dari Komisi B DPRD Surabaya. Sebaliknya, pengembang pada awal Januari 2011 mendapat undangan untuk hearing di Komisi-B, dilanjutkan sidak ke perumahan Dharmahusadas Mas. Tapi yang terjadi adalah, bukan sidak, melainkan anggota Komisi B kota Surabaya bersama pengurus RT/RW XII, mengadili pengembang di gedung Balai RW XII Surabaya.

Praktik mengadili dari lembaga ”legislatif” tersebut melebihi peradilan yang dilakukan lembaga yudikatif. Pengadilan oleh yudikatif, mengikuti Hukum Acara Pidana yaitu memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk menyampaikan keterangan, saksi dan surat-surat, termasuk keterangan terdakwa. Para hakimnya pun sudah menghormati asas praduga tak bersalah dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia terhadap seorang terdakwa sekalipun. Dalam mengambil keputusan, para hakim yang memeriksa menggunakan landasan hukum, sehingga tersangka sekalipun bersama penasihat hukumnya dapat menyimak pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan penjatuhan vonis. Sementara ”peradilan” yang dibuat oleh Komisi-B, tanpa berita acara, tanpa menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa memperhatikan kesetaraan antar warga. Anggota Komisi-B DPRD yang melakukan sidak, terutama Wakil Ketua Komisi B, Rio dan anggotanya Yvy Juana, tanpa menggunakan landasan hukum, tanpa mendengar kesaksian pihak lain, termasuk surat-surat yang diajukan, langsung membuat pendapat yang memojokan pengembang. Bahkan Anggota Yvy, tampil bak seorang eksekutor, menanyakan waktu penyerahan fatsum dan fatsos ke Pemkot Surabaya.

Itulah fakta empirik ”peradilan” oleh Komisi-B dan Pengurus RT/RW XII terhadap pengembang. Cara kerja sebagian anggota Komisi B DPRD kota Surabaya itu tidak mencerminkan makna dan teks UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa DPRD itu hanya memiliki kewenangan legislasi, pengawasan dan anggaran. Dalam UU itu tidak ada kewenangan”mengadili” apalagi ”mengeksekusi”. Fakta yang terjadi di lapangan, beberapa anggota DPRD yang tampil berbicara cenderung memojokkan pengembang seolah-olah pengembang adalah anggota masyarakat yang salah, keliru dan serba tidak benar. Beberapa anggota Komisi B DPRD kota Surabaya hanya mengedepankan pengaduan pengurus RT/RW XII. Surat-surat yang disampaikan pengembang tanggal 29 November dan 6 Desember 2010 ke Komisi B DPRD Surabaya, tidak satu pun dibahas, apalagi dijadikan acuan. Pantaskah perilaku anggota DPRD, berperan sebagai eksekutor sekaligus hakim yang memojokan pengembang berdasarkan asumsi dan opini yang dibuat oleh pengurus RT/RW XII semata.

Oleh karena perilaku sebagian angota Komisi B DPRD kota Surabaya yang tidak mencerminkan anggota DPRD yang bermartabat dan terhormat tersebut, akhirnya pengembang mengadukan perilaku tidak etis beberapa anggota Komisi B, ke Badan Kehormatan DPRD Kota Surabaya. Pengembang berharap Badan Kehormatan dapat meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan sebagian anggota Komisi B DPRD Surabaya, terhadap Kode Etik DPRD serta sumpah dan janji. Pengembang berharap Badan Kehormatan melakukan penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi atas pengaduannya, bahkan pengembang dalam pertemuan dengan Badan Kehormatan, sanggup dikonfrontir dengan anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya yang turut melakukan sidak di perumahan Dharmahusada Mas Surabaya.

Saya berharap anggota masyarakat di Surabaya tidak perlu takut dengan anggota DPRD kota Surabaya. Anggota DPRD adalah wakil-wakil kita yang duduk menjadi anggota dewan untuk mewakili kepentingan warga kota untuk mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan. Kewajiban menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat seperti diatur dalam Pasal 45 Ayat (e) UU Nomor 32 Tahun 2004, tidak dimaksudkan anggota DPRD bisa ”berwajah” menjadi hakim atau ”eksekutor”. Anggota DPRD adalah wakil kita semua yang tidak perlu memihak golongan masyarakat manapun.

Karena itu, pengembang memperjuangkan agar anggota DPRD Kota Surabaya benar-benar menjadi wakil rakyat yang bermartabat dan menjaga kehormatannya sesuai Kode Etik dan sumpah-janjinya. Pengembang berharap kejadian penghakiman seperti yang dilakukan oleh segelintir anggota Komisi B DPRD Surabaya dalam menangani sengketa antara pengurus R/RW XII dengan pengembang, yang cenderung memihak Pengurus RT/RW XII bahkan ada anggota yang mewakili kepentingan Pengurus RT/RW XII, ke depannya, tidak akan terulang, agar martabat dan kehormatan anggota DPRD kota Surabaya dapat dijaga oleh semua komponen bangsa di kota Surabaya. Menjaga martabat dan kehormatan bagi anggota DPRD dapat terwujud manakala diantara mereka tidak memiliki vested interest terhadap suatu masalah yang diadukan masyarakat, apalagi menjadi pembela kelompok anggota masyarakat tertentu dengan berlindung (kewenangan yang berlebihan) menggunakan statusnya sebagai wakil rakyat yang terhormat. Kini, rakyat tidak lagi takut kepada kekuasaan dengan simbol-simbol negara.

Kekuasaan yang berlebihan (keotoriteran) cenderung menghasilkan perilaku korup. Kecenderungan sebagian anggota DPRD yang belum berpengalaman adalah mengandalkan kekuasaan sebagai sikap ajimumpung. Anggota DPRD yang demikian, matahatinya tertutup dengan realita bahwa sebagian besar rakyat sudah mengerti akan hak dan kewajibannya. Rakyat adalah yang memilih mereka, oleh karena itu wajar rakyat pun turut mengawasi perilaku mereka dengan mengadu ke Badan Kehormatan DPRD. Ini karena, rakyat sudah bisa mengindentifikasi perilaku-perilaku menyimpang anggota DPRD, karena perilaku buruk, memihak atau menyimpang selalu dapat terdeteksi pada saat anggota DPRD tersebut melakukan penanganan.

Filosofi jawa kuno yang menyatakan becik ketitik olo ketoro, perlu dipahami oleh anggota DPRD semuanya, terutama yang baru pertama kali menjadi anggota DPRD. Oleh karena, filosofi jawa tersebut acapkali dapat muncul manakala anggota DPRD sudah tidak menerapkan prinsip adil dan menjalankan fungsinya secara berkeadilan. Anggota DPRD yang tidak adil dan menerapkan keadilan identik dengan sosok penguasa yang tidak mencermin adigang, adigung dan adiguna atau bahasa Suroboyoannya, anggota DPRD yang kemaruk. Saya berharap anggota DPRD yang sekarang, tidak bereforia, mentang-mentang sudah menggunakan emblem DPRD di dadanya. Emblem bukan simbol kekuasaan, emblem DPRD adalah identitas diri bahwa dia adalah wakil rakyat yang bermartabat dan terhormat. Oleh karena itu, mereka harus ingat bahwa kekuasaannya memiliki batas. Anggota DPRD bukan anggota polisi dan juga bukan hakim. Kedepan, saya berharap jangan sampai anggota DPRD Kota Surabaya menjadi tiran menggunakan simbol wakil rakyat. Saya masih optimistis Badan Kehormatan DPRD sebagai sistem kontrol internal di DPRD dapat bekerja maksimal, menegur dan memberi sanksi anggota DPRD yang kemaruk kekuasaan berperilaku adidang, adigung dan adiguna. Mewujudkan anggota DPRD bermartabat adalah pekerjaan tidak ringan bagi Badan Kehormatan, tapi perlu dikerjakan oleh Badan Kehormatan untuk mewujudkan anggota DPRD Kota Surabaya yang layak dipanggil wakil rakyat yang terhormat.

sumber : http://www.surabayapagi.com

 

0 comments:

Posting Komentar

Siguiente Anterior Inicio